#REHHAT [1] - [14] Sold & Out
'Hahahaha! Ini sangat menyenangkan, Pope! Jujur ... aku tidak tahu apa tujuanmu sebenarnya—tapi aku akan terus mengikutimu!! Sampai aku bosan, tentu saja―’
Itulah
yang aku ingat saat Pendekar Pedang Kayu itu. Dry. Mengatakan kata-kata
terakhirnya sebelum dia menyarungkan Pedang Kayu-nya, lalu kemudian pingsan.
Masih
kuingat dengan jelas, punggung Pendekar Pedang Remaja itu terlihat sangat lebar
melindungi kami bertiga. Namun, memang, cukup menakutkan saat melihat dia bisa
melenyapkan Robot AMP terakhir sendirian.
Apa
aku menyelamatkan takdir seorang monster? Ya. Terlepas dari monster atau bukan,
aku hanya percaya bahwa dia pasti bisa menjadi Pendekar Pedang Terkuat di kehidupanku
yang sekarang.
Karena
selama aku hidup, tidak ada seorang remaja yang bisa membunuh seorang Anak Diberkati
Tuhan―Bahkan hanya untuk membunuh Tier.0
pun akan sangat sulit.
Beberapa
hari ini kami semua terus bertarung; sambil terus bersembunyi meskipun hanya
sejenak.
Kami
semua tidak hanya melawan satu-dua Robot AMP saat keluar dari persembunyian.
Belasan sampai puluhan AMP yang menghadang kami pun harus kami terobos untuk
bisa ke tempat persembunyian berikutnya.
Ya.
Estimasiku sangat meleset. Aku sama sekali tidak menyangka Robot AMP akan terus
menyerbu kami hingga ke Wilayah Perbatasan Negara Adidaya.
Mungkin
satu anomali Anak Diberkati Tuhan sekarat, lalu men-summon Robot AMP, yang ia langsung
mendeteksi keberadaan kami.
Sial
untuk kami, huh, demikian pikirku.
Aku
sedang berbaring menatap birunya langit; sambil mengumpulkan tenagaku.
Di
sinilah kami sekarang.
Terbaring
karena kehabisan tenaga dan energi.
Kami
semua sudah menjarah kepingan-kepingan Pentagon Biru milik orang lain, tetapi
itu saja tidak cukup bahkan untuk setengah jalan.
Untungnya,
aku masih bisa membantu mereka untuk menghindari luka fatal yang seharusnya
mereka dapatkan dari insiden besar ini.
Sisa
Robot AMP yang mengejar kami pun sudah sepenuhnya lenyap.
Mungkin
karena kami semua sudah di luar jangkauan mereka?
Aku
bahkan tidak melihat anomali yang mengendalikan mereka sampai saat ini, demikian
pikirku, mulai mencoba berdiri perlahan.
Jika
kuingat dengan jelas, kami bisa melenyapkan satu-dua AMP. Namun, jika yang
muncul lebih dari itu, kami akan lari dan menemukan tempat persembunyian yang tepat
untuk melenyapkan mereka satu per satu.
Aku
harus menemukan sesuatu untuk mengangkut rekan-rekanku ini, pikirku,
melihat rekan-rekanku yang masih terbaring pingsan. “Mereka sudah bekerja
keras.”
Mereka
seperti mayat―namun di Daratan Surga ini tidak ada mayat. Mereka yang mati akan
berubah menjadi poligon-poligon dengan warna jiwa mereka dan lenyap di udara.
Aku
sekarang tahu, huh, mereka akan dikirim ke Daratan Setelah Kematian itu―dan
bertemu denganNya.
Meninggalkan
mereka, aku menuju ke sebuah ladang di perbatasan Village.12 dengan Gerbang
Dungeon.
Walaupun
perang sedang berkecamuk, para Korporat pasti sudah mengungsikan beberapa orang
di desa ini―ke
medan perang tentu saja―dan Korporat itu sendiri akan pergi ke Kota Pusat
Negara Adidaya ini.
Namun
aku tahu, rencana mereka pada akhirnya pasti akan berhasil dan membangun
kembali semua yang telah mereka korbankan.
“Inilah
Surga―Daratan di mana aku dilahirkan dan dibesarkan,” gumamku, melihat dari
jauh sebuah ladang kosong yang hanya terlihat sebuah gubuk kayu di sisi ladang
tersebut. “Ya. Aku mengingat daerah ini dengan jelas ... Tempat di mana kami
singgah dulu.”
Di
samping gubuk terdapat kandang kuda dan kereta kuda yang terparkir di
hadapannya.
Aku
masuk ke dalam kandang, menemukan seekor kuda coklat sedang terbaring lemah.
Menghampiri
kuda tersebut, aku menggunakan satu-satunya RM-0 untuk menyelamatkannya. Kemudian, kuda
di hadapanku bangkit seperti sehat kembali.
Aku
berkata seraya mengusap kepalanya, “Tunggu di sini.”
Menjarah
setiap rumah di desa perbatasan ini, aku menemukan beberapa bibit lobak. Selain
bibit lobak, kusimpan semuanya untuk kujual nanti.
“Ladang
Portabel ...” gumamku, melihat sebuah lempengan hitam sangat tipis di ruang tamu, “Aku sangat beruntung.”
Rencanaku
berubah sekarang.
Sebelumnya
aku akan menunggu rekan-rekanku bangun, dan tinggal di sini sebentar sambil
menanam semua bibit yang kudapat di ladang.
Namun,
aku sama sekali tak menyangka akan mendapatkan alat ini di sini:
Ladang
Portable
Walau
dengan ini tidak bisa menanam semua bibit yang kutemukan dari rumah-rumah di
desa ini, aku masih bisa menanam beberapa sembari melakukan perjalanan.
Kembali
ke kandang kuda, aku memodifikasi kereta kuda dengan meletakan Ladang Portabel
di atasnya.
Aku
pergi mengangkut semua rekanku ke kereta kuda.
“Di
sinilah kau,” kataku, memasangkan tali pengikat ke kuda lalu menghubungkannya
ke kereta kuda, “Bantu aku, oke.”
Setelah
mengangkut semua rekanku ke kereta kuda, aku mengaktifkan Ladang Portabel di
atas kereta kuda dan menanam bibit lobak yang kudapatkan.
Hasil
dari bibit ini adalah―Anak Diberkati Tuhan biasa menyebutnya sebagai:
Lobak
1 Giga
Aku
akan menjual Lobak 1 Gb yang sudah matang di setiap Kota dan Desa yang kusinggahi.
Sangat sulit untuk mendapatkan bahan ‘byte’ segar, karena ‘data’ dari bahan
seperti Lobak 1 Gb ini akan terus berkurang setiap waktunya.
Lobak
1 Gb merupakan salah satu bahan untuk membuat IR-1―Kepingan Pentagon Biru yang
selama ini kugunakan. Jika sudah dibuat Kepingan Energi, ‘byte’ energi di
dalamnya tidak akan berkurang.
Jarak
antara Negara Adidaya ini ke Wilayah Netral memang sangat jauh. Selama beberapa
hari perjalanan, rekan-rekanku ini masih belum bangun juga.
Aku
tahu jalan yang aman memang harus melintasi dungeon. Dan aku selalu menggelar
lapakku di setiap Pintu Masuk Dungeon. Namun, tak memakan waktu lama karena
Lobak 1 Gb-ku akan langsung habis dibeli oleh para Anak Diberkati Tuhan.
Pada
akhirnya, tanpa sepengetahuan rekan-rekanku, aku sudah mengumpulkan dana kami
semua untuk masuk ke Sekolah Beladiri di Wilayah Netral.
Perjalanan
cukup panjang dengan melewati beberapa Kota dan Desa—serta beberapa dungeon di Wilayah
Perbatasan Negara Adidaya ini.
Aku
pun menggelar lapak di depan Mini Dungeon—berbeda dengan sebuah ‘dungeon’ yang
mana ia hanya merupakan sebuah area hutan bermonster, Mini Dungeon adalah
sebuah gate yang terhubung ke sarang monster.
Secara
teknis, ia memang sarang monster.
Baru
saja aku menempatkan Lobak 1 Giga-ku di atas lapakku, seseorang akan keluar
dari gate—yang berarti sudah ada orang yang beres membersihkannya.
Ya.
Tidak apa ... aku akan beristirahat sejenak di—
Pemikiranku
seketika berubah saat melihat seorang wanita keluar dari gate.
“Angel—“
Tentu
itu bukan Dia.
Aku
memutus perkataanku seperti itu seraya langsung berdiri dan mengambil belati di
kantong jubah pengembaraku—tepat saat melihat pria di belakang wanita itu.
Wanita
itu mirip Angelica. Sangat mirip. Tetapi tatapan mata hijaunya sangat pucat nan
kosong—aku tidak pernah melihat Anak Diberkati Tuhan dengan ekspresi seperti
itu. Sedangkan pria tampan di belakang itu sudah sangat jelas: Calon Pahlawan
Nasional. Mamat.
Dia
berjongkok dengan santai di hadapan lapakku. “Aku beli ini.”
Aku
ingin membunuh si Mamat di sini, sekarang juga, sebelum dia menjadi Pahlawan
Nasional—namun—entah mengapa wanita di sampingnya itu membuatku tidak bisa
melakukan apa-apa.
“Maaf.
Sudah habis,” dustaku, mencengkeram Belati-ku dengan kuat.
Aku berbohong
dengan jelas seperti itu walau masih ada satu Lobak 1 Gb di hadapan kami.
“Aku
akan membeli Lobak 1 Giga itu dengan informasi,” kata si Mamat, menggodaku.
Aku
terdiam sejenak, menatap wanita di sampingnya. Tetapi wanita itu tetap terdiam
tanpa ekspresi—aku tahu wanita itu bukan bagian dari haremnya Pahlawan Mamat nanti. Tapi,
siapa dia?
“Informasi?”
“Angelica—wanitamu—di
kehidupan kita saat ini telah lenyap di Dunia Nyata.”
Saat
dia mengatakannya dengan nada seperti itu, apa aku masih pantas menyebutNya
dengan sebutan ‘wanitaku’? Di mana aku sudah meninggalkanNya seperti itu? Tapi
... Apa katanya tadi? Dia lenyap dari Dunia Nyata?
Aku
ingin memastikan, “Dunia Nyata yang kau maksud ...”
“Ya.
Dunia kami,” ungkapnya, mengambil Lobak 1 Gb dan memberikannya ke wanita di
sampingnya. “Hanya itu yang bisa kukatakan. Senang berbisnis denganmu.”
Mereka
pergi begitu saja, meninggalkanku yang tertegun.
“Dan
... maafkan aku, Pope.”
Itulah
yang terakhir dia katakan setelah menghilang dari hadapanku.
Aku
tahu Pahlawan Nasional Utama itu tidak sepenuhnya jahat. Tujuanku dari awal
hanyalah melenyapkan Assassin Heroes. Anak Diberkati Tuhan yang bernama: Sol,
untuk mencapai kedamaian yang kuinginkan.
Ya.
Mungkin kami berdua memang memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kedamaian,
namun kami memiliki idealisme dan jalan yang berbeda.
Masa depan telah sepenuhnya berubah. Semua informasi yang aku tahu sudah benar-benar tidak berguna sekarang.
"Dan, maaf karena tidak bisa memaafkanmu, wahai Pahlawan Pelindung,” gumamku, menatap jauh ke depan. “Kedamaianku adalah tanpa kalian―para Pahlawan Nasional.”
Aku
berhasil membawa rekan-rekanku, dan sampai di hadapan Gerbang Perguruan U’Bad
Art―tepat setelah salah satu dari rekanku baru
saja bangun dari tidur panjangnya.
Yang
kutahu, pendiri Sekolah Beladiri―Perguruan
U’Bad Art―adalah keturunan Dewa ke-11 yang
dimaksud para Pahlawan Nasional. Jadi di kehidupanku saat ini, aku memutuskan
memasuki Sekolah Beladiri aneh ini daripada yang lainnya.
“Hahahaha!
Apa pun itu ... Terimakasih telah membawaku ke tempat ini, kawan!”
Aku
turun dari kereta kuda, lalu berjalan ke hadapan Gerbang Sekolah.
“Jalan
kekuatan adalah jalan yang mengharuskan kita untuk meninggalkan segalanya,”
sumpahku kepada seseorang.***
Komentar
Posting Komentar