#REHHAT [1] - [13] Art of Fight (2/2)
Robot AMP mengayunkan Pedang Besar-nya dari samping secara horizontal.
Tetapi
kami berdua berhasil menghindarinya, dan dengan mudah langsung menyerang balik.
“Kau
pikir kita akan melawannya bersama?” cibir Pendekar Pedang Kayu itu. “Robot ini
mangsaku! Pergilah ...!!”
Seorang
NPC memiliki ekspresi, mengayunkan Pedang Kayu-nya dengan sangat baik, serta
bertarung dengan senyum pada wajahnya memang sangat aneh.
Namun,
NPC tersebut berada tepat di sampingku.
Aku
mengungkapkan sesuatu yang bodoh, “Aku adalah penyelamatmu dari masa depan,
ngomong-ngomong,” sambil menghindari tebasan Pedang Besar Robot AMP.
Pria
itu mundur, berdiri di atas tempat sampah sembari memperhatikan diriku dengan
tatapan aneh.
“Hahahaha!”
Dia tertawa, menerjang kembali ke sisiku, “Candaan yang sangat bagus, kawan!”
Aku
mundur sejenak, berdiri tegap di tempat dia sebelumnya mundur.
“Aku
Pope ... Kita harus bekerja sama untuk mengalahkan AMP itu.”
Aku bisa berkata santai di atas tempat sampah seperti itu, tetapi sebenarnya, pria di hadapanku ini sedang intens baku hantam dengan Robot AMP—hanya menggunakan Pedang Kayu-nya.
“Aku
Kirito,” katanya, dengan sangat percaya diri. “Kau diam saja di sana, Pope!
Kirito ini akan membereskan rongsokan bodoh ini sendiri.”
Aku
tidak tahu bagaimana Pedang Kayu dipegangnya itu tidak hancur-hancur. Tetapi aku
tahu pria ini biasa mengalahkan Robot AMP itu sendirian, dengan bayaran yang
sangat fatal untuknya nanti.
“Oke.
Dry. Kau urus bagian kiri,” saranku, mengabaikan guyonannya.
Di
kehidupanku yang sebelumnya, pedangnya hancur bersama dengan jiwanya untuk
menyelamatkan kami bertiga. Aku tidak ingin itu terjadi di kehidupanku yang
sekarang.
“Hey!?”
sahutnya, melirikku sedikit dengan kedua mata bulatnya melebar, “Bagaimana kau
tahu namaku?!!”
Kami
masih memiliki lawan yang sangat kuat nanti—bahkan aku pun tak percaya diri
jika melawannya tanpa orang aneh ini.
“Aku
sudah bilang, bukan? Aku dari masa depan.”
“Kau
sungguh dari—“
“Itu
terukir di pedangmu, ngomong-ngomong ... Aku hanya menebak.”
Dry
terdiam sejenak; menangkis Pedang Besar AMP dengan mudahnya. Tetapi jika
diperhatikan dengan jelas, dia tidak menangkisnya—orang itu hanya
mengalihkannya ke samping sambil sedikit menghindar.
“Matamu
sangat jeli, ya, Pope.”
“Seperti
itulah.”
Aku
tahu Dry tidak akan pernah membicarakan tentang keanehan ataupun mengungkap
rahasiaku. Karena orang yang mempunyai rahasia besar, pasti mengerti perasaan
orang yang memiliki rahasia.
Terlepas itu, aku kagum dengan kejelian
serta ketepatan waktu dia saat mengalihkan Pedang Hitam Tajam Robot AMP hanya
dengan Pedang Kayu-nya.
“Ngomong-ngomong,” ungkapnya, seraya terus menyerang bagian kiri Robot AMP, “Jangan
menahan diri saat bertarung, Pope. Perilaku seperti itu sangat berbahaya.”
Entah
mengapa Dry mulai memasang ekspresi serius padaku.
Dan, bagaimana dia bisa tahu aku sedang menahan diri? Aku cukup terkejut.
Aku
mulai mengerahkan tenaga lebih, melawan Robot AMP di hadapan kami ini dengan
serius. Dengan satu tebasan Belati ke kaki AMP di hadapanku, langsung
membuatnya sedikit bergeming.
“Kenapa
kau bisa membunuh anomali itu dengan sekejap, tapi melawan Robot AMP ini sangat
kewalahan?” tanyaku padanya, heran.
“Anomali—para
Anak Diberkati Tuhan itu hanyalah kumpulan dari ‘angka’, Pope ...” jelasnya
dengan santai seraya menghindari serangan, namun masih berdiri tegap di posisi
yang sama. “Tidak lebih dari itu. Tapi Robot ini ... masih bagian dari ‘kita’.”
Dia
menerjang bersamaan denganku, dan kami berdua behasil memukul mundur Robot AMP di
hadapan kami.
Sampai
sekarang aku tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya itu: ‘Anak
Diberkati Tuhan hanyalah kumpulan dari angka’? Tetapi aku tahu maksud dia
tentang si AMP ini adalah bagian dari ‘kita’.
Kami
berdua terus menyayatkan senjata kami dengan sangat baik. Sampai saatnya, aku langsung
mengerti saat si Dry mengalihkan perhatian AMP sejenak—memberiku celah untuk
melompat ke atas kepala Robot AMP.
Dengan
pijakkanku bahu kanan dan wajah AMP, aku menghujaninya dengan tusukan Belati-ku
dari atas ke bawah, tepat ke arah mata birunya.
“Bagus,
Pope,” puji Dry saat aku sedang melompat mundur. “Kau membutakan mata kirinya agar aku yang menghabisinya, kan?!”
“Tidak,”
dalihku, menggeleng, “Hanya kebetulan.”
Dia
menyelesaikan bagiannya dengan baik. Menyerang sendi tangan, kaki, serta tubuh
utama Robot AMP di hadapannya tanpa meleset satu serangan pun.
Ya.
Ini berakhir,
demikian pikirku saat melihat Robot AMP di hadapan kami mulai goyah.
Dengan
tusukkan Pedang Kayu yang sangat kuat tepat ke Pusat Energy AMP; serta Belati-ku menusuk mata kirinya, musuh kami langsung hancur berkeping-keping.
“Pertarungan
yang cukup menyenangkan, Pope.”
Aku
mengabaikannya, mengambil sesuatu di kepingan besi AMP yang mulai lenyap.
“RM-0
... Lumayan,” gumamku, menggenggam sebuah Botol Biru berisi cairan putih bercahaya
sebesar Belati-ku. “Ah, Dry. Lanjut ronde berikutnya?”
“Apa!?”
Dia sangat terkejut dengan ucapanku. Walau terlihat sangat kelelahan, tetapi Pria Aneh itu masih bisa mengikuti arah pandanganku. “Aku
...”
3 Robot AMP menghampiri kami berdua dari arah timur. Mereka melompat, berlari, dan menerjang
asap-api tepat ke arah kami.
“Siap!!!
Ayola—“
“Tentu
kita akan kabur, bodoh.”
Aku
mendahuluinya kabur dengan memasuki sebuah bangunan agar sulit terdeteksi oleh
mereka.
“Sialan.
Tunggu aku!!”
Aku
tahu dia akan mengikutiku. Pendekar Pedang Kayu itu bukanlah orang yang bodoh
dan gegabah.
“Hahahaha!
Salah satu dari mereka menemukan kita. Apa kita habisi saja?”
Namun
dia hanya orang aneh. Dia berlari di sampingku sambil menyarungkan Pedang Kayu di
punggungnya.
“Tunggu
sebentar lagi,” ujarku, terus berlari dan menunggu sesuatu.
Aku
menyayatkan Bilah Tajam Belati ke pipi kiriku sendiri.
“Hei?!
Apa yang kau lakukan!?”
“Rekanku
agak menyebalkan―hanya tidak ada waktu bagiku untuk menjelaskan padanya.”
Aku
menuntunnya ke tempat persembunyian si Ro dan Mo, tanpa sepengetahuannya.
“Hei,
Pope,” seseorang memanggilku. “Kemari.”
Kami
berdua berada di lapangan terbuka, sebuah petakan ladang besar, dengan pohon berukuran
sangat besar menempel di sebuah tembok beton putih di samping kami.
“Temanmu,
Pope?” tanya Dry dengan seringai lebar di wajahnya.
“Ya.
Kita masuk ke sana,” jawabku.
Kami
berdua memasuki sebuah celah kecil di antara rimbunnya akar pohon besar, dan
sedikit berseluncur ke bawahnya.
“Hai.
Aku Kirito,” canda Dry ke si Ro.
“Aku
pikir akar ini tidak akan bertahan lama,” sidik Mo, maju dari gelapnya gua. Dia
melihat luka di pipiku dan langsung terdiam. “Apa yang harus kita lakukan?
Kalian berdua yang membawa mereka kemari.”
Kami
semua terkurung si bawah akar pohon besar yang menempel di dinding perbatasan
kota. Robot AMP di atas kami terus menyayat akar pohon dan mencoba menerobos
masuk―ia tidak bisa masuk karena celahnya terlalu kecil untuk dimasuki Pedang
Besar serta Tubuh Besar-nya.
“Hahahaha!
Kalian dengar? AMP lain telah tiba―kami membawa 3 AMP, ngomong-ngomong,” ungkap
Dry, yang anehnya dia bangga.
“Ya.
Kami berdua juga baru lolos dari 4 AMP,” ungkap Ro.
“Ya. Kita harus pergi dari sini,” lanjut Mo, juga mengungkapkan situasi kami yang sangat tidak aman sekarang, “Tidak ada pilihan lain ... Akar-akar itu tak akan bertahan lama.”
Meskipun
kami semua aman sekarang, Robot – Robot AMP di luar akan terus bertambah dan
ditambah Pedang Besar Robot AMP terus memotong akar pohon satu per satu.
“Aku
hanya akan mengajarkan kalian sekali,” ucapku, menarik perhatian mereka,
“Keluarkan Kepingan Pentagon Biru yang kalian dapat.”
Masing-masing
dari mereka mengeluarkan satu keping Pentagon Biru.
Aku
meremukkan satu Pentagon Biru dipegangku, dan dari inti kepingan tersebut
langsung mengeluarkan sebuah Energi Cahaya Biru. Ia menyelimuti tangan kananku
dan akan terus menjalar ke seluruh tubuhku, tetapi ia berhenti sendiri hanya
sampai bahuku.
“Pertahankan
cahaya biru ini di bagian tubuh yang ingin kau perkuat,” jelasku, singkat,
“Masukan ia ke kesadaranmu kalau ingin memperpanjang hidupmu.”
“Jadi,”
Dry tiba melebarkan mata bulatnya, seraya mencoba sesuatu, “aku bisa melakukan
ini―hah!?!”
Pendekar
Pedang Aneh itu mengacungkan Pedang Kayu-nya ke atas; mengalirkan Energi
Biru ke Pedang Kayu-nya.
“Ini
berhasil! Hahaha! Aku super-jenius!”
Ide yang sangat brilian. Namun, seharusnya dia mendapatkan ide itu setelah beberapa bulan bertarung dan menjarah di kota ini.
Aku pun mengikutinya, dengan
mengalirkan titik berat Energi Biru ke Belati-ku.
“Ya.
Kau sangat jenius. Dry. Ini tidak buruk.”
Kami
berempat membuat rencana singkat tentang formasi bertarung kami saat melawan
Robot AMP nanti. Aku menyebut formasi ini dengan sebutan: Formasi Belah Ketupat.
Di
mana aku paling depan sebagai Vanguard, Dry sebagai Swordman di kanan, Ro di
kiri, dan si Mo harus tetap di belakang.
“Oh.
Mereka ada 12!!?” Senyum lebar di wajah Dry terus markah, setelah mendorong
mundur satu Robot AMP dengan Pedang Kayu-nya yang telah diperkuat. “Hahahaha!
Ini sangat hebat!”
“Tidak
mungkin kita akan melawan semuanya,” ujar Mo, mengingatkannya.
“Ya.
Aku tahu itu!” pungkas Dry, membuka jalan untuk kami.
Ro
mengangguk. “Ya. Apa pun yang terjadi, jangan sampai terpisah.”
“Ya.
Itu benar ... Kita akan bertahan sambil terus mundur,” saranku, memfokuskan Energi
Cahaya Biru ke Belati-ku, "Kita ke utara.”
Aku
tidak ingin terlalu mencolok tetapi dengan keadaan masa depan menjadi sangat
rumit seperti ini, secepatnya, aku hanya harus membuat rekan-rekan party-ku ini
menjadi sekuat mungkin.***
Komentar
Posting Komentar