#REHHAT [1] - [9] Reconnect
“Pergi,” tanya seorang remaja di sampingku, “ke mana?”
“Ya.” Remaja
lain di hadapanku mengangguk lalu menggeleng. “Sepertinya kita sudah
terkepung.”
Aku
mengangguk kecil, setuju dengannya.
“Kita
harus cepat-cepat pergi dari sini ...!!!” desak kakekku dengan nada tinggi,
“Jhone!!”
Beliau
terus berlari menghampiriku, lalu ia sekan akan memelukku, tetapi aku tahu
beliau hanya ingin melindungiku. Aku akan membiarkan beliau mengorbankan
dirinya untuk menyelamatkanku, lagi.
Dan benar
saja kakekku langsung tumbang di hadapanku, dengan luka tembakkan laser tepat
di jantungnya.
Tubuh
rentanya tergeletak di hadapanku, dengan darah yang terus mengalir di dadanya.
“Kita
pergi dari sini, Pope,” ujar Ro, menepuk bahuku.
Aku
memicingkan mata, lalu berbalik begitu saja.
Kami para
remaja berlari sembari menghindari tembakkan peluru dan laser dari arah yang
tidak kami ketahui.
Memasuki
gang dan sebuah rumah, aku tahu di sini ada sebuah pintu menuju Ruang Bawah Tanah.
Yang
mengakibatkan hanya aku, Ro, dan si Mo yang bisa lolos dari sini.
Seluruh
orang tua renta, kakek kami, serta beberapa remaja telah tertembak oleh
orang-orang yang bahkan tidak bisa mereka lihat.
“Siapa
mereka?” tanya Mo dengan nada hampir berbisik.
Pria muda
mengenakan kacamata kotak itu mengintip keluar, melalui jendela kayu tanpa kaca.
Aku
pura-pura tidak tahu dan memasang ekspresi yang sama dengan calon rekan-rekanku
ini.
Selagi Ro
memperhatikan ruangan, aku mengintip keluar, memastikan tidak ada seorang pun
yang menghampiri kami semua. Dan aku tahu akan ada satu orang anak kecil yang
ditangkap oleh anomali itu. Berkat dia-lah kami bisa memasuki ruang bawah tanah
tanpa diketahui oleh anomali tersebut.
“Aku
menemukan pintu di permukaan lantai kayu ini,” bisik Ro kepadaku dan si Mo, “Sepertinya
pintu ini terhubung ke ruang bawah tanah―apa ada orang di luar sana?”
“Tidak.” Aku
menggeleng. “Tidak ada.”
Saat dua
remaja itu berjalan menuju pintu yang dimaksud, aku menoleh ke belakang dan
melihat seorang anak kecil memeluk boneka kelinci sedang menuju ke arah rumah
ini.
Seperti
yang kuduga, alur masa depan sama sekali tidak berubah, demikian pikirku,
berbalik dan mengabaikan anak kecil itu.
Aku tidak
mau meresikokan jalan kabur kami semua dan jalannya masa depan yang sudah
kutahu hanya untuk menyelamatkan orang lain.
Seperti
yang sudah kubilang, di bawah rumah ini terdapat ruang bawah tanah yang
terhubung ke pusat saluran irigasi wilayah produksi.
Pintu yang
menempel di lantai kayu itu terlihat seperti pintu kayu biasa, tetapi aku tahu
pintu tersebut sangat berat.
“Ugh,”
desah berat Ro, tidak bisa mengangkat pintu itu, “Mengapa ini sangat berat,
tidak ada kunci ataupun handle―apa dikunci dari dalam?”
“Ayo kita
bantu dia,” ujarku, mendekatinya.
Aku, Mo,
dan si Ro menggenggam tepi pintu kemudian mengangkatnya secara bersamaan. Meski
kami bertiga cukup kuat, kami semua masih harus menggunakan seluruh tenaga yang
kami miliki.
Perlahan
pintu terbuka, dan benar saja, suara derit pintu besi yang terbuka terdistorsi
oleh jeritan seorang Gadis Anak Diberkati Tuhan di luar rumah ini.
Mo menengok
ke arah pintu depan, “Siapa itu―”
“Kita
harus cepat,” potongku, mengerahkan tenaga lebih yang hilang―karena si Mo
melonggarkan pegangannya.
Ro
mengangguk. “Ya. Kita harus cepat.”
Pintu
bawah tanah terangkat, dengan lapisan bawah berupa lempengan baja setebal lima
sentimeter yang entah mengapa atasnya dilapisi pintu kayu persegi.
Ro
langsung menuruni anak tangga, mendahuluiku. Aku menuruni beberapa anak tangga,
lalu menolehkan tubuhku ke belakang.
“Kau tidak
ikut?”
“Aku ...”
Mo hanya
mempertahankan posisinya sebentar―melihat pintu keluar dan mendengar jeritan
seorang Gadis Anak Diberkati Tuhan. Dia seperti memikirkan sesuatu dengan
ekspresi wajah dinginnya itu.
Aku tidak
berani menanyakan hal ini lebih jauh, jadi, aku lanjut menuruni anak tangga.
Namun, dia
pun berbalik, menuruni anak tangga, mengikutiku.
Ro sudah
tidak terlihat. Dia mungkin sudah menuruni tangga cukup jauh, tanpa rasa takut
akan tersesat.
Namun, aku
tahu ini cukup berbahaya. Kita semua akan bertemu dengan salah satu anomali
Anak Diberkati Tuhan di sini.
Aku
masih mengingat orang itu dengan jelas, demikian pikirku, menatap ke depan.
Sekarang
aku sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi; hanya terus menuruni anak tangga―menuruni
lorong yang sangat gelap.
Ro sudah
tidak terlihat lagi olehku.
Semakin
aku menuruni anak tangga lorong ini, semakin aku tidak bisa melihat apa-apa―seperti
sedang dilahap oleh kegelapan sesungguhnya.
Hanya
suara langkah kaki-ku dan si Mo saja yang bergema di lorong ini.
Cahaya
biru.
Hanya setitik
cahaya biru, yang baru saja kulihat sekarang.
Entah berapa anak tangga yang telah kutapaki, tetapi aku mulai bisa melihat anak-anak tangga yang
sedikit ter sinari cahaya biru―beserta ujung lorong ini.
Ia tak jauh lagi dariku.
Dia, demikian pikirku, saat melihat
bayangan seseorang di ambang lorong. “Kenapa dia tidak tersesat―dan malah diam
di situ?”
“Ada apa?”
tanya Mo, di belakangku.
Aku
menoleh padanya. “Tidak. Hanya si―lelaki tadi. Ro.”
“Mungkin
dia sedang menunggu kita,” katanya.
Aku hanya
mengangguk setuju dan melewati ujung lorong―mulai memasuki saluran irigasi yang
berada tepat di bawah Village.0.
“Yo,” sapa
Ro padaku.
Aku tahu
bahwa saluran irigasi―gorong-gorong besar ini terhubung ke berbagai desa,
bahkan sampai ke Kota Industri.
“Kau
nunggu kami?” tanyaku, spontan.
“Tentu.”
Dia mengangguk santai dengan ekspresi tetap dingin. “Tidak mungkin aku
berkeliaran di saluran irigasi yang tak kukenal―aku lihat di sini banyak
tikungan dan lorong.”
Aku mulai
heran―ini aneh―sangat aneh.
“Ya ...”
Aku terus mempertahankan ekspresi dinginku. “Sangat berbahaya menyusuri saluran
irigasi Village.0 ini sendirian.”
“Aku
dengar,” tambah Mo, “Gorong-gorong ini cukup rumit―seperti labirin.”
Masa
depan mulai berubah sekarang, demikian pikirku, mengabaikan obrolan mereka
berdua.
Sedari
tadi, aku membiarkan si Ro memimpin―walau aku mengingat dengan jelas, jalan
mana yang aman dan benar untuk keluar dari saluran irigasi ini.
Untuk
sekarang aku tidak mau masa depan harus berubah―lagi―karena itu akan merepotkan
untukku nanti.
Aku
bilang seperti itu,
demikian pikirku, tapi sekarang dia mengambil jalan yang sama dengan apa
yang kuambil di kehidupanku sebelumnya―ini aneh.
Tidak ada
yang menginterupsi Ro saat berbelok di tikungan lorong―dan terus memimpin.
Sebab hanya dia-lah yang bisa, serta memiliki tampang seperti seorang pemimpin
daripada kami berdua.
Kami
bertiga kemudian berjalan mengikutinya menyusuri saluran pembuangan―dan terkadang
dia berbelok di tikungan yang berlawanan.
“Kita
sepertinya tersesat,” ungkap Ro pada akhirnya.
Walau dia
berkata seperti itu dengan jelas, tidak ada sedikit pun ekspresi pada wajahnya―dia
tetap dingin nan datar seperti biasa.
Mo pun masih
memasang ekspresi yang sama.
Kecuali
aku―aku tahu bahwa jalan yang kami ambil ini akan mengantarkan kami semua ke
sebuah bencana.
“Tidak
apa.” Mo membetulkan kacamatanya. “Kita juga memang belum mengenal tempat ini,
kan?”
Dia curiga
padaku―mungkin dia melihat sedikit perubahan pada ekspresi wajahku tadi.
Itu
tidak bisa dihindari,
desahku dalam hati.
Dan
kemudian, Mo menajamkan tatapannya. Namun, aku dengan acuh mengangguk seraya
berusaha mempertahankan ekspresi dinginku.
“Ya.
Tentu,” dalihku, mengalihkan pandanganku ke saluran air pembuangan. “Yang kita
semua lakukan selama ini hanya mengawasi orang-orang tua sakit itu, bukan?”
Aku
berkata dengan santai seperti itu, tetapi sebenarnya aku sangat waspada―sekarang―aku
sangat takut masa depan akan berubah kembali, dan anomali itu muncul di tempat
yang tak terduga.
Ro―sebagai
orang yang sedari tadi memimpin sama sekali tidak menunjukkan ekspresi curiga
padaku.
“Baiklah.
Ayo kita―”
*Step ...*
“Siapa itu―”
*Step
...*, *Step ...*, *Step ...*
Kami
bertiga mendengar suara langkah kaki seseorang yang cukup jauh di hadapan kami―lebih
tepatnya di tikungan depan.
Suara
langkah kaki yang sangat tak asing bagiku.
Masa
depan berubah kembali. Sial, demikian pikirku, mengerutkan kening.
Seharusnya
anomali itu menangkap si Ro―dan kemudian aku serta Mo menyelamatkannya.
Tapi
kenapa orang itu tiba-tiba berada di hadapan kami? Anomali itu semakin
mendekat.
Aku tidak bisa berdiam diri di sini begitu saja.
Posisi kami sangat buruk―sekarang―sangat
berbeda dengan di kehidupanku sebelumnya.
“Hey,”
desakku ke mereka berdua, “Kita harus pergi dari sini secepatnya―lari,
maksudku.”
“Bagaimana
kamu tahu orang itu berbahaya?” tanya Mo, masih curiga.
Ro menarik
tangan Mo, dan langsung berkata padanya, “Kau tidak merasa aneh? Orang itu
berjalan dengan tergesa-gesa. Jika―dia mula lari? Ayo cepat pergi dari sini.”
“Ya,”
jawabku dengan si Mo, serempak, “Ayo.”
Kamu
bertiga berlari dari kejaran seorang anomali. Berlari dalam kegelapan memang
sangat merepotkan. Aku tidak tahu siapa di depan dan di belakangku―kami semua
panik dan mulai mendahului satu sama lain.
Namun
untungnya, anomali itu cukup lambat.
Aku
mengarahkan mereka ke sebuah tangga besi yang menempel di dinding
gorong-gorong, lalu langsung memanjatnya.
Anomali di
bawah kami pun mulai memanjat―berusaha menarik seseorang yang terakhir kembali.
“Cepat
dorong pintu besi itu,” desak Mo, yang berada tepat di bawahku.
Aku pun
mendorong pintu besi di atasku dengan sekuat tenaga. Dan saat ia terbuka, sinar
lampu kota perlahan memasuki gorong-gorong dan menampakkan seorang Anak
Diberkati Tuhan yang memakai jubah Sekte Sesat dengan kupluk kerucut aneh.
Anomali
itu tepat berada di bawah si Ro saat aku dan Mo baru saja mencapai permukaan.
Aku dan Mo
pun langsung menarik si Ro keluar dari gorong-gorong dibarengi anomali itu menatap
tajam kami semua, lalu kembali lagi ke kegelapan.***
Komentar
Posting Komentar