#REHHAT [1] - [8] Sub Missions 1
Terdengar suara rintihan seorang wanita cantik yang sangat putus asa. Dia dipasung di sudut Sel Jeruji Besi.
Wanita cantik itu adalah Onee San dari seorang gadis yang
sedang duduk termenung di hadapannya.
Mereka berdua sedang termenung, lebih tepatnya, terdapat
anak-anak lain yang lebih menyedihkan dari dua bersaudara itu.
Dengan hanya diterangi satu lampu kuning―yang kadang ia mati-redup begitu saja, mereka sama sekali tidak melihat apa-apa.
Gelap. Ya.
Tetapi walaupun gelap dan anak-anak itu tidak bisa melihat
apa pun, mereka masih tetap memasang ekspresi yang sama―seolah mereka tidak
merasakan apa-apa.
Ya. Energi.
Rasa takut terlalu menguras energi, jadi mereka semua sudah lama melenyapkannya.
“Kak,” ucap seorang gadis, menggema di kegelapan lorong
ruang bawah tanah.
Lampu kuning menerangi lorong tersebut kembali, dan
menampakkan Sel Jeruji Besi mereka. Di mana anak-anak sedang termenung tanpa
ekspresi, duduk di dalamnya. Anak-anak di dalam sel tersebut jelas tahu, mengapa
mereka semua bisa sampai harus dikurung di sana.
Sel jeruji besi yang berada tepat di bawah Bangunan Apartemen Mewah―tempat tinggal Pria Gumpal yang sama sekali anak-anak kecil itu tidak kenal. Pria Gumpal tersebut baru saja pergi tergesa-gesa, keluar Ruang Bawah Tanah itu begitu saja.
“Kita sebentar lagi akan berpisah, ya,” lanjut gadis kecil
itu.
Namun, dikarenakan Onee San si gadis sedang dipasung dengan
besi tua di sudut sel dan terbujuk lemah bersandar di dinding metal, dia hanya
bisa membalas adiknya dengan senyuman tipis nan lemah.
“Dan,” ungkap gadis kecil itu, “Kakak bohong, tadi bilang
udah kenyang, kan?”
“Tidak,” bantah Onee San-nya, menggeleng, “Kakak .. memang
sudah .. kenyang, kok―”
Adiknya menunduk, kasihan.
“Tapi, Kak ...”
Dia tahu bahwa kakak perempuannya dari awal berbohong. Dan
walau di dalam panci besar tadi terdapat makanan yang cukup banyak, ia jauh dari
cukup untuk semua orang yang berada di dalam Sel Jeruji Besi. Pun Pria Gumpal
itu sangat jarang memberi makan mereka―bahkan―mungkin pria itu juga akan mengabaikan
semua orang yang mati kelaparan.
Gadis kecil itu tahu bahwa Onee San-nya ini pasti
masih sangat kelaparan, karena seorang wanita dewasa membutuhkan asupan makanan
yang lebih banyak darinya.
Masa lalu terpintas di ingatannya, di mana Onee San-nya itu selalu girang saat memakan makanan yang sangat lezat. Wajah cantik, menawan dan
senyumannya sekarang tertutupi oleh kotoran dan debu.
“Kakak sudah kenyang, kok, Dik,” ucap Onee San itu,
berbohong dengan senyuman, “Beneran.”
Mendengar kakak perempuannya mengucapkan itu, si gadis kecil
hanya bisa menundukkan kepalnya sembari merenung.
Sore berganti malam begitu saja.
Mereka yang berada di dalam sel, sama sekali tidak mengubah posisi
duduk mereka. Mereka semua duduk, termenung sambil menundukkan kepala.
Sesekali beberapa dari mereka menatap pintu keluar yang
berhadapan dengan Sel Jeruji Besi mereka. Namun, ia terasa sangat jauh.
Tidak ada satu pun dari anak-anak itu yang berharap bisa
keluar ke balik pintu itu.
Mereka semua sudah beberapa kali menyaksikan anak-anak
kecil, bahkan wanita dewasa di Sel Jeruji Besi lain dibawa oleh pembeli
berwajah menyeramkan―bahkan―beberapa pembeli tersebut berwajah tegas dan
berwibawa. Sudah tentu orang-orang seperti itu merupakan orang besar dan
memiliki kuasa.
Dulu, pada saat pertama kali mereka dikurung di sel jeruji
besi, mereka semua masih bisa bermain-main dan bercanda gurau satu sama lain.
Namun, tepat setelah satu-satunya Onee San yang sangat mereka percayai untuk
bisa keluar dipasung di sudut sel mereka, suasana dalam sel tersebut menjadi
sangat suram.
Semua orang di dalam sel jeruji besi itu sudah tidak
mempunyai sedikit pun energi untuk berbicara
satu sama lain―apalagi berpikir dan membuat rencana untuk kabur.
Lemas, ketakutan, serta kebingungan adalah hal yang biasa
dirasakan anak-anak itu.
Keputusasaan akan kebebasan membuat mereka semua tidak lagi
memiliki energi untuk berharap.
Selain dari wajah, perawakan, serta mental anak-anak di
dalam sel yang mencerminkan keputusasaan, Penjara Bawah Tanah tempat mereka
semua disekap pun sudah mencerminkan bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Dengan ruas batang metal antar metal pintu serta sangkar
penjara yang sangat kecil nan kuat, ditambah alas serta satu sisi dinding
metal, tidak asa satu pun orang yang bisa menembusnya.
Tidak ada lagi anak-anak yang berani berharap untuk
diselamatkan, apalagi berencana untuk melarikan diri.
Satu-satunya orang yang bisa dan memiliki rencana untuk
melarikan diri hanya-lah orang yang sedang di pasung di sudut dinding metal.
Dia dipasung setelah ketahuan melakukan sesuatu oleh Pria Gumpal itu.
Seorang Onee San yang memiliki seorang adik
perempuan. Mereka berdua duduk berhadapan di lantai metal.
Namun, tidak ada sedikit pun ekspresi kedinginan pada wajah
mereka.
Tidak ada satu pun tempat tidur di dalam Sel Jeruji Besi.
Jadi, terkadang jika suhu udara sangat dingin, mereka semua sama sekali tidak
bisa tidur.
Mata mereka kelelahan namun terus menatap lemah pintu
keluar―bukan ingin untuk diselamatkan atau melarikan diri―tetapi berharap untuk dijual. Entah kepada
siapa atau ke mana.
Derit pintu terdengar dengan disertai penampakan seseorang,
dan saat melihatnya, anak-anak di dalam sel jeruji besi langsung ketakutan.
Mata lelah mereka semua melebar―apalagi mata si Onee San
yang terpasung di sudut Sel Jeruji Besi.
Orang tua―Anggota Korporat itu ... Aku sudah tamat, huh,
demikian mungkin pikirnya.
“Kakak,” bisik adiknya, “Kayaknya aku pernah melihat orang tua
itu, Kak.”
Walau bisikkan adik kecilnya itu sangat lancar, dia tetap
tidak bisa menyembunyikan suara gemetarnya.
“Tenang, Dik ... Kemungkinan besar, aku yang akan dibeli
oleh orang tua itu,” ujar Onee San itu, “Dan untuk kalian semua, kalian
harus―”
“Ada apa, cantik?” potong Pria Gumpal, membuka pintu sel. “Mau
coba kabur lagi, sayang?”
Pria Gumpal itu membimbing dua orang berjas hitam
sangat misterius, yang sedang berjalan di belakangnya. Hanya si Onee San dan
Pria Gumpal itu saja sepetinya yang dengan jelas tahu siapa kedua orang tersebut.
“Ya ~ Sialahkan, tuan-tuan!” Pria Gumpal itu mempersilahkan
dua orang berjas hitam memasuki Sell Jeruji Besi, “Gunakan waktu tuan-tuan
sekalian untuk memilih daganganku dengan saksama.”
Dua orang yang dipersilahkannya itu maju, dan masuk ke dalam Sel Jeruji Besi begitu saja.
Ya. Itu memang beliau, ungkap si Onee San dalam hati.
“Tapi, kenapa ...”
Pria Gumpal itu berdiri di sisi ruang pintu sel seraya
mempersilahkan salah satu dari orang berjas hitam masuk.
“Paman?”
Seorang pria paruh baya memasuki sel, melewati anak-anak
lain begitu saja; sampai di hadapan si Onee San.
“Ternyata itu kamu,” ungkap pria paruh baya itu, “Rina.”
“Tolong―”
Namun, ucapan tersebut Rina potong sendiri setelah melihat senyum
menyeramkan pada wajah pria paruh baya di hadapannya.
“Dan ini ...” ungkap pria paruh baya itu, mengelus kepala gadis
kecil di hadapan Rina, “Adikmu?”
Dia menatap Rina dan Adik Perempuannya dengan saksama dengan
secara bergantian. Dan sepintas, kedua bersaudara itu memang terlihat mirip.
Dengan hidung mereka berdua tidak terlalu mancung, kilauan mata
hitam masih tersisa sedikit serta rambut sebahu yang warna rambutnya sama
dengan warna mata mereka.
“Ya,” jawab Rina, “Dia adikku: Pina.”
Pina memiliki kulit sawo matang, namun Kakak Perempuannya
memiliki kulit yang lebih putih―walau ia tertutup debu dan sedikit kotoran.
Pria paruh baya di hadapan kedua bersaudara itu menepuk
kepala Pina dengan lembut, dan berkata, “Kalian berdua memang sangat mirip
dengannya, huh,” lalu berbalik pergi, keluar Sel Jeruji Besi.
Dia pun berbisik ke si Pria Gumpal seraya berjalan keluar
Ruang Bawah Tanah bersamaan.
Sepertinya paman itu akan memilih adikku, daripada
aku, demikian pikirnya, “Sebab membeli kami berdua sekaligus sepertinya tidak
mungkin ...”
“Kenapa, Kak?” tanya Pina, sedikit mendengar gumaman kakak
perempuannya.
Rina berkata, “Dik ...”
Onee San-nya itu pada akhirnya memaksakan dirinya untuk
memasang wajah serius, seraya menatap lurus ke depan.
“Ya, Kak?”
“Tanganku dipasung―cepat ambil kertas yang ada di celah
payudaraku!”
Kedua gumpalan daging di dada Rina memang cukup besar untuk
menyelipkan sesuatu, jadi, Pina langsung meraba dua gumpalan tersebut dan
mengambil sepucuk kertas di celahnya dan mengambil kertas yang dimaksud
bersama selotip yang masih merekat.
“Ah!?” desah Rina, tetapi dia bergegas memperingati adiknya,
“Cepat―sembunyikan itu!”
Pina pun langsung menyembunyikan kertas dipegangnya. Dia
menyembunyikan kertas tersebut di bagian tubuh menakjubkannya sendiri.
Bersamaan dengan itu, suara derit pintu besi bergeser
terdengar disertai dengan langkah kaki seseorang yang tergesa-gesa.
Rina berusaha keras menjulurkan lehernya untuk berbisik ke
adiknya, “Dengarkan baik-baik, Dik―berikan kertas itu ke pelayan korporat barat
yang bernama: Sol. Dan nanti aku akan langsung menyelamatkanmu setelah dibebaskan
olehnya dari sini!”
Pina ingin membantah, tetapi ketiga orang itu sudah kembali
dan satu dari ketiga orang tersebut berjalan mendahului si paman dan si pria
gumpal.
Di luar sel kedua bersaudara serta anak-anak lainnya,
seorang pria muda berbadan tegap mengenakan pakaian serta kacamata hitam
langsung bergegas masuk.
Wajah tegas lelaki yang sedang membuka pintu itu seperti
pengawal-pengawal orang besar pada umumnya.
“Kak ...”
“Tenang, Dik, Kamu bisa―”
Sebelum si Onee San menenangkannya, pengawal itu
langsung menjambak rambut andiknya.
“Hey!” teriak Rina dengan lemah, “Jangan terlalu kasar
padanya!!”
“A-a-a―Kakak ...!!”
Pina hanya bisa menjerit dan meringis kesakitan. Dia sangat
ketakutan sampai-sampai mulai menangis saat dirinya diseret keluar dengan
kasar.
Pria Gumpal di hadapan sel jeruji besi malah kegirangan
sendiri, tidak melihat jeritan Pina yang diseret keluar. Dia hanya fokus ke Box
Hitam yang dipeluknya sepenuh hati.
Box Hitam yang memiliki ukuran sama dengan perut gumpalnya
itu membuat dia melupakan sekitarnya.
Setelah adik perempuan si Onee San dibawa keluar Ruang Bawah
Tanah, pria paruh baya yang disebut: ‘paman’ olehnya itu berjalan ke arahnya.
“Jadi, Zell,” katanya ke si Pria Gumpal, tetapi tatapan
tajamnya lurus ke depan―tepat ke si Onee San, “Kita sudah sepakat, oke?”
“Iya, tuan!” sahut Pria Gumpal itu, “Sekali lagi,
terimakasih!!”
“Hummph!”
Pria paruh baya tersebut berbalik dan mengabaikan si Onee
San, yang termenung dengan pandangan kosong tidak percaya. Dan untuk yang
ke-2 kalinya, Pria Gumpal itu terlalu bernafsu terhadap Game Virtual
sampai-sampai mengabaikan betapa menggodanya si Onee San.
Namun tiba-tiba, Pria Gumpal yang sedang berjalan menuju ke arah
pintu keluar, berbalik seraya mengacungkan telunjuk di hadapan
wajahnya―seperti sedang mengingat sesuatu.
“Ahh,” dan dia menghela napas, lalu lanjut berkata, “Sayang
sekali, Onee San, kita tidak bisa bermain sesuatu yang―tunggu saja, cantik! Aku
ingin memainkan gim ini sebentar, lalu aku akan kembali!”
Pria Gumpal berkata seperti itu, tetapi ternyata, orang aneh
itu sama sekali tidak kembali―bahkan untuk sekedar memberi makan.
Sudah berapa lama, demikian pikir Rina, begitu dia baru
saja tersadar kembali. “Ada .. Apa ini?”
Rina melihat sekelilingnya dengan saksama.
Mereka―kenapa―mereka, pikirnya. “Mayat!?”
Rina menundukkan kepala, melihat salah satu anak lelaki yang
masih hidup tiba-tiba berada di pangkuannya.
“Kau ...”
Anak itu tidak langsung manjawab pertanyaan si Onee San,
tetapi dia malah menjulurkan lengannya ke wajah si Onee San―ia seperti ingin
meraihnya.
“Kak ...”
Bersamaan dengan itu, Onee San itu. Rina. Pada akhirnya bisa
memperhatikan sekitarnya dengan jelas. Mayat anak-anak mulai terlihat jelas berserakan
di sekitarnya.
Lebih dari tiga bulan Rina terpasung dan terkurung di dalam Sel Jeruji Besi. Dia tak sadarkan diri selama itu dan juga tidak sadar bahwa tubuhnya
sudah sangat kurus-kerempeng.
Rina tidak bisa bergerak sama sekali.
Hanya butuh beberapa hari untuk membuat Rina putus asa
sepenuhnya.
Beberapa anak di sekitarnya telah mati―bahkan anak kecil
yang berada di pangkuannya pun sudah tidak bernapas lagi.
Dalam keputusasaannya, dia tidak bisa bergerak, berbicara,
bahkan hanya untuk memikirkan sesuatu.
Dia hanya tertunduk, mencoba mengosongkan pikirannya―dan
kemudian mati dengan tenang. Namun dalam keputusasaannya itu, dia mendengar
suara langkah kaki mendekatinya.
Dengan sedikit cahaya―dan bayangan manusia menutupinya―dia
tahu bahwa ada seseorang sedang berjongkok di hadapannya.
Orang itu berkata, “Kamu sekarang sudah aman, Rin,” dengan
nada yanh sangat akrab sembari mengusap kepalanya.
Rina mendongak dengan sekuat tenaga.
Aku sama sekali tidak mengenalnya, bagaimana―
Orang itu memperkenalkan dirinya sendiri, "Namaku Mamat,” dengan nada santai dan sangat akrab―layaknya seseorang yang sedang berbicara dengan kawan lamanya. ***
Komentar
Posting Komentar