#REHHAT [1] - [7] Restart

Pak Tua itu menurunkan cangkulnya, dan kemudian dia menolehkan tubuhnya ke arahku.

Sekarang mungkin aku akan terlihat sangat muda di matanya.

“Ohoho,” suara parau seorang lelaki tua renta merasuki telingaku, “Itu kau, Jhone.”

Aku bukan ‘Jhone’, ngomong-ngomong.

Itu adalah nama ayahku.

Kakekku sudah lama mengidap gangguan ingatan. Beliau salah satu orang di Village.0 ini yang terkena Virus-IR sebelum aku ada.

Virus misterius yang hanya menyerang kaum renta. Namun untuk anak remaja sepertiku sekarang, masih terbilang aman.

Walau sekarang masih aman, aku tahu bahwa Virus-IR ini nantinya akan berevolusi.

Ia akan membunuh sebagian Kelompok Besar NP, tempat di mana aku berlatih dan meningkatkan kekuatan. Dan pelaku utama dari insiden besar ini adalah: 

Anomali Red Name

Tetapi dengan adanya aku yang baru saja di-Respawn, dan sebelum mereka melenyapkanku serta rekan-rekanku, aku harus melenyapkan anomali itu.

Aku harus melenyapkan Anomali – Anomali itu sebelum Calon Musuh Utama-ku datang ke Daratan Surga ini, demikian pikirku, membulatkan tekad.

Itulah tujuanku yang sebenarnya.

Aku tidak terlalu memikirkan Perintah Tuhan beberapa saat yang lalu. Mungkin dari awal Dia tidak ingin membantuku?

Namun, selagi Dia ingin memanfaatkanku, aku pun akan memanfaatkan kekuatanNya untuk kepentinganku.

Memang sangat disayangkan 3 Permintaan-ku akan menjadi sia-sia kalau kita hanya akan bertemu saat 100 Tahun lagi dari sekarang, dan, demikian pikirku, mengerutkan kening.

“Aku sangat meragukan sosok itu adalah Tuhan Yang Maha Esa yang sebenarnya,” gumamku.

Kakekku tersenyum saat melihatku mengerutkan kening. “Ada apa, Jhone?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa, Kek. Ayo pulang,” ajakku.

Untuk menyusuri jalan kekuatan, itu bukanlah hal yang mudah. Aku serta rekan-rekanku sebelumnya pun harus meninggalkan keluarga―lebih tepatnya mengorbankan mereka serta tanah kelahiranku ini begitu saja.

Semua orang yang memilih untuk mengejar kekuatan akan selalu meninggalkan tanah kelahiran mereka begitu saja, memang.

Aku dan kakekku melewati daerah yang sangat kumuh nan gersang. Bangunan-bangunan kayu berwarna kuning membuat Village.0 ini terlihat lebih gersang.

Kayu-kayu reot dengan hanya tambalan kayu cokelat di sana-sini menandakan bangunan-bangunan tersebut tidak pernah diperbaiki sepenuhnya.

Pemandangan ini sangat tak asing bagiku.

“Dari mana saja kau?”

Ayahku yang berbicara.

Tanpa sedikit pun ekspresi pada wajah paruh baya tegasnya, dia duduk di atas kursi goyang sambil menyilangkan kakinya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Hahaha, Jhone,” kata kakekku, menyeringai lebar, “Jhone pergi bermain, bermain bersama―”

“Diam kau, Orang Tua.”

Kakekku berbicara dengan aneh dan nada seperti lantunan lagu serta perilaku yang sangat aneh, dan ayahku menukasnya dengan sangat dingin dan tenang seperti itu.

Aku jujur tidak tahu harus menjawab apa.

Walau pandanganku terlalu rendah di hadapan sosok ayahku ini, dia sama sekali tidak terlihat se-menyeramkan di dalam ingatanku.

Masa kecilku selalu dihambat oleh ayahku ini. Aku selalu dilarang bermain dan hanya perintahkan untuk menjaga kakekku yang sudah terkena Virus-IR.

Orang-orang yang sudah terjangkit virus tersebut akan menjadi sangat aneh. Mereka akan berperilaku layaknya Anak Diberkati Tuhan namun memiliki kemampuan otak yang berbanding terbalik. 

Singkatnya, mereka menjadi super-bodoh.

Ayahku memicingkan matanya padaku dengan ekspresi yang sangat dingin, dia berdiri lalu berbalik dan memasuki rumah begitu saja.

Aku menyebut ini rumah, tetapi ia lebih buruk dari apa yang kusebut sebagai ladang sebelumnya.

Hanya ada dua ruangan lain di hadapanku: ruang tidur ayahku dan dapur yang terhubung ke kamar mandi.

Aku dan kakekku tidur di ruang tamu beralaskan kardus.

Ruang tamu ini akan menjadi sangat berisik saat matahari tenggelam. Kakekku akan terus mengoceh hal-hal yang sangat tidak jelas.

Dulu, aku sangat tersiksa dengan ocehan-ocehannya. Kadang kala aku akan terjaga sepanjang malam hanya untuk mendengar ocehan kakekku.

Namun sekarang, aku hanya terdiam menatap langit-langit rumahku.

Seperti inilah masa kecilku. Tidur di samping kakek, mengurus kakek, yang selalu akan mencangkul ladang tiap pagi sampai sore, lalu kembali berbaring menatap kosong langit-langit rumah kumuh-ku ini.

Namun sekarang, sangat berbeda sebab aku tahu dengan jelas apa yang akan terjadi besok.

Besok. Entah dari mana Anak Diberkati Tuhan itu akan datang, demikian pikirku.

Ia bukan berasal dari Faksi Blok ataupun Non Blok Negara Adidaya maupun Negara – Negara di sekitarnya. Orang itu anomali―lebih tepatnya―mereka adalah anomali.

Apa aku harus menghentikan mereka? Apa itu akan berguna untukku kelak?

Itulah apa yang kupikirkan selama waktu malam ini. Dan tak terasa, hari yang kunanti pun telah tiba.

Aku menengok ke samping, dan tanpa sadar, kakekku sudah tertidur lelap. Suara pintu reot terbuka yang sangat tak asing terdengar olehku.

Pria paruh baya berpakaian kumal mengenakan topi cokelat keluar dari ruangannya.

Ya. Dia ayahku yang akan pergi bekerja.

Dia hanya dengan dingin berkata, “Jaga kakekmu,” lalu berlalu melewati kami berdua begitu saja.

Masih jelas di dalam ingatanku, seluruh penduduk Village.0 dibantai oleh para Anak Diberkati Tuhan anomali itu.

Ya. Semuanya termasuk kakekku yang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanku.

Apa aku harus memberitahunya untuk hati-hati atau―

“Pagi yang sangat cerah, Jhone,” ucap kakekku, bangun dari tidurnya.

Beliau langsung bangun dan meregangkan tubuh rentanya dengan penuh semangat.

“Ya, Kek,” jawabku, ikut bangkit walau semalam aku sama sekali tidak tidur.

Beliau dengan semangat dan berseri-seri mempersiapkan alat-alat untuk pergi ke ladang kemarin.

“Ayo kita pergi bertani, Jhone,” ajaknya dengan senyum khas di wajah tuanya.

Aku hanya mengangguk, berjalan di belakangnya.

Beberapa orang seperti kakekku berjalan menuju arah yang sama―pusat desa. Mereka dibimbing oleh remaja-remaja sepertiku.

Remaja-remaja itu sama sepertiku sedang menjaga kakek mereka untuk melakukan hal-hal aneh.

“Yo, Pope,” sapa seorang remaja padaku.

Aku mengangguk tanpa ekspresi. “Yo.”

Lima orang remaja mengantar kakeknya yang akan melakukan hal aneh, pun termasuk aku yang mengantar kakekku.

Semua kejadian yang kupikirkan tadi malam akan dimulai saat salah satu Red Name membunuh kakek remaja itu: Ro.

Remaja terakhir yang telat akhirnya datang bersama kakeknya. Dan kakeknya menampakkan ekspresi permintaan maaf penuh pada kakek-kakek lainnya.

Para Orang Tua itu berbaur dengan ramah-tamah layaknya Anak Diberkati Tuhan sedang berinteraksi. Sedangkan cucu mereka hanya berdiri tegap, menatap dan mengawasi mereka dengan tatapan kosong.

Aku pun termasuk bagian dari mereka.

Para Orang Tua di tengah ladang terus mencangkul tanah gersang, dengan semangat dan seri pada wajah mereka yang tidak akan pernah luntur sedikit pun walau hari akan berganti.

Namun, satu Orang Tua yang sedang mengangkat cangkulnya dengan semangat tinggi secara tiba-tiba tumbang.

Beliau tumbang bukan karena kelelahan, melainkan karena suatu tembakkan yang melubangi kepalanya.

―Dan

Aku tidak cukup kuat untuk menyelamatkan semuanya. Itulah yang kusimpulkan setelah memikirkan masalah ini. Aku memang tidak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan siapa pun untuk saat ini.

Ya―

Walau kejadian ini nanti akan dilanjutkan dengan insiden Pembantaian Village.0, aku sama sekali tidak memiliki kekuatan dan waktu untuk mencegah hal ini terjadi.

Aku serta remaja lainnya berdiri tegap seraya melihat kakek kami ditembaki.

Walau beberapa tembakkan meleset―termasuk tembakkan yang mengarah tepat ke kakekku. Namun beliau berhasil menghampiriku dengan ekspresi yang sangat menakjubkan.

Ekspresi itu.

Beliau melempar paculnya ke samping seraya berlari menghampiriku dengan sedikit membungkuk.

Aku tidak akan pernah bisa melupakan ekspresi di wajah tuanya itu.

Jika kuingat dengan jelas, itu adalah ekspresi yang sama saat Dewi-ku menghampiri kepalaku yang telah terputus sebelum aku di-Respawn.

Berbanding terbalik dengan kepanikan kakek-kakeknya, para remaja di sekitarku tetap tenang namun masih ada sedikit ekspresi waspada pada wajah mereka.

Ro berkata, “Kita harus pergi dari sini,” dengan nada sedikit waspada.

Walau ekspresi kami tetap datar nan dingin, kami semua tahu betapa bahayanya situasi saat ini.

Dan ini, adalah awal dari pemusnahan desa-desa di berbagai penjuru Negara Adidaya.***

Komentar