#REHHAT [1] - [5] Apa Tuhan itu Dewa?
Ini bukanlah sebuah prolog cerita yang menceritakan Awal & Pertengahan sebuah cerita―atau epilog yang menjelaskan Kesimpulan & Makna sebuah cerita.
Sebuah kematian dapat dikatakan sebagai epilog dalam
sebuah cerita kehidupan. Namun, tidak banyak cerita yang ada di Daratan Surga
tempatku lahir.
Cerita-cerita tentang kehidupan dan makna kehidupan, yang
hanya aku ketahui dari wanitaku.
Ya. Dia yang baru saja menginjakkan kakinya di ranah
para Dewi selepas aku mati.
Tentang kehidupan setelah kematian, memang sangat umum
diperdebatkan oleh siapa pun.
Aku pun cukup menantikan akan hal ini.
Banyak perdebatan tentang adanya Daratan Setelah
Kematian. Bahkan para Anak Diberkati Tuhan yang bisa dibilang makhluk tercerdas
pun membentuk Kelompok Besar untuk mengungkap hal itu.
UM, UB, bahkan NP pun, yang merupakan gerakan blok, mencari
tahu Daratan Setelah Kematian.
Terlepas dari mereka semua, aku, sedang mengalaminya
sekarang:
KEMATIAN
Ya. Kematian. Aku sedang mati sekarang.
Kata-kata terakhirku terdistorsi oleh jerit dan tangis
seorang Dewi yang memeluk erat kepalaku.
Ya. Aku bilang kata-kata terakhir, karena, aku sadar
bahwa aku benar-benar sedang mati sekarang.
Hanya tersisa kesadaranku saja yang entah akan dibawa
ke mana dan oleh siapa aku akan dibimbing.
Atau, aku akan terus sendirian seperti ini?
Ingatanku beberapa saat lalu masih sangat jelas, di mana
kepalaku terputus dari tubuhku.
Namun―
“Hahahaha!”
―Itu bukan aku yang tertawa.
Siapa? Siapa itu yang tertawa? Bagaimana hanya
dengan tawanya saja bisa menggetarkan kesadaranku.
Ini sangat aneh. Kesadaranku perlahan menghilang,
mengikuti gema suara tawa tersebut, yang semakin melemah.
Aku seperti tidak bisa mengingat apa-apa. Pikiranku
kosong, dan cahaya putih apa itu?
Terdapat sebuah lingkaran cahaya putih yang perlahan
mendekati kesadaranku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi sepertinya ia akan
mengeluarkan sesuatu.
Cahaya putih itu secara tiba-tiba mengeluarkan kilatan
hijau yang langsung menyerangku.
Ah ....
Kilatan-kilatan hijau yang keluar dari cahaya putih
tersebut perlahan mengikat kesadaranku.
Ia semua memang mengikat kesadaranku secara perlahan,
tetapi, karena kesadaranku sama sekali tidak biasa bergerak, kesadaranku
tercekik dan terus tercekik.
Saat ini, kesadaranku layaknya sebuah balon karet yang
diremas menggunakan kedua tangan kuat seorang manusia.
Aku, Ught, merasakan rasa sakit yang teramat sangat.
Rasa sakit yang sama sekali tidak bisa kujelaskan dengan
kata-kata.
Aku hanya bisa mengerang kesakitan.
Rasanya, Urkhh, sangat menyakitkan. Dan tak lama
kemudian kesadaranku hancur berkeping-keping.
Namun bukannya cahaya poligon-poligon dengan warna
jiwaku yang menyebar, melainkan dua angka yang sangat asing untuk kaumku.
Dua angka tersebut memang sangat asing di Daratan Surga,
tetapi aku sangat mengetahui angka ini.
“Ia adalah: Sistem Bilangan Biner.”
Saat aku mengucapkan itu, beberapa angka yang
mengelilingiku mulai menyala hijau terang di atas hitam.
Berbagai kombinasi antara angka 1 dan 0 yang redup,
tersebar di sekitarku dengan warna hijau tua.
Tali-tali yang tadi meledakkan kesadaranku telah
terpecah dan menyebar menjadi barisan kombinasi dua angka tersebut.
Jika aku bergerak, beberapa baris kombinasi dua angka
hijau yang menempel di Ruang Hitam di sekitarku itu langsung berubah menjadi kombinasi lain. Dan pada saat aku berhenti bergerak, ia semua kembali
seperti semula.
“Inikah ... Daratan Setelah Kematian yang di―”
Sistem Bilangan Biner di sekitarku tiba-tiba
bertingkah aneh. Mereka semua mengganti kombinasi dengan sendirinya walau aku
tidak melakukan apa-apa.
“A,” ucapku, da apa ini?
Aku pun mulai tidak bisa berbicara lagi saat semua
kombinasi Sistem Bilangan Biner beserta Ruang Hitam di sekitarku mulai
bertingkah aneh.
Dan secara tiba-tiba, Ruang Hitam di sekitarku
menyempit dan melahap kesadaranku beserta Sistem Bilangan Biner di dalamnya.
Ini terlalu tiba-tiba, tapi―
“Hahahaha!”
―Suara tawa arogan tadi muncul kembali dan semakin
jelas terdengar olehku. Siapa itu?
Aku tidak bisa berbicara dan pandanganku hanya putih kosong
sepenuhnya.
“Ta,” ucapku pada akhirnya, dan aku cukup terkejut saat
perlahan pandanganku kembali seperti semula, “nganku?”
“Selamat datang,” sambut suatu sosok padaku, “Pope.”
“Siapa itu?” kataku, bukan kesadaranku lagi. “Aku
....”
Memastikannya sekali lagi, aku sangat terkejut.
“Aku bisa berbicara?”
Bukan hanya ini bukan hanya kesadaranku saja, tetapi
ini benar-benar tubuhku sebelum aku mati. Lebih tepatnya, jauh sebelum aku
mati.
Aku bisa menyentuh leherku, dan, tidak ada kulit keriput
di sana.
“Muda?” gumamku, “Aku, menjadi muda kembali?”
“Hahahaha!” Suara tawa arogan itu kembali bergema di
sekitarku. “Kami katakan selamat datang kembali, Pope.”
“Selamat datang,” tanyaku, kebingungan, “kembali?”
Aku melihat kedua tanganku dan, ya, sama sekali tidak
ada keriput di sini.
Tubuhku menjadi muda kembali, tetapi bagaimana bisa?
“Dan,” tanyaku pada sosok tersebut, “Bagaimana kau
bisa tahu namaku? Di mana ini?”
Dia hanya menjawab pertanyaanku dengan tawa yang
sangat lantang dan penuh kebanggaan. Seolah dia telah sukses menciptakan sebuah
maha karya besar.
Aku mendengar suara dengan penuh rasa kebahagiaan dan
kebanggaan, “Kami mengetahui segala hal yang tidak kamu ketahui, Pope.”
Walaupun dia tidak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaan
dan kebanggaan tersebut, yang entah akan apa, tetapi dia masih menekankan
kalimatnya layaknya seorang pemimpin sejati.
Pemimpin yang mengetahui segalanya, itu tidak mungkin
ada. Bahkan para makhluk secerdas Anak Diberkati Tuhan pun tidak berani berkata
bahwa mereka mengetahui segalanya.
Pemimpin, demikian pikirku, yang memimpin akan hal
apa?
Aku melebarkan mataku, menyadari sesuatu.
“Atau jika Kau adalah ....”
“Ya. Kamu benar, Pope, itulah Kami dimata kalian.”
Aku tidak percaya dengan gagasanku sendiri, namun,
tidak ada yang biasa melakukan hal seperti ini selain Dia Yang Maha Kuasa.
Di Daratan Surga, ia telah ditetapkan sebagai mitos
oleh seluruh kelompok blok maupun nonblok di berbagai Negara Adidaya.
Tuhan Yang Maha Esa itu hanya mitos, demikian
pikirku, kemudian menggumam, “Tidak mungkin―”
“Hahaha,” sosok itu menertawakanku dan berkata, “Kamu
menganggap Kami hanyalah sebagai mitos belaka?”
Aku terdiam dan hanya menatap tenang ke depan.
“Hahaha.” Suara sosok itu mulai mengeras, seperti
tidak senang dengan sikap tenangku, “Percayalah jika kamu ingin percaya dan
jangan percaya jika memang nuranimu menolaknya.”
Aku terdiam kembali saat mendengar Dia berujar seperti
itu
Sosok ini bisa mengetahui apa yang kupikirkan dan dia
bisa menghidupkanku lagi dari kematian, tapi, kenapa aku masih sangat
meragukannya?
“Seperti yang kamu pikirkan, Pope, Kami bisa dan
mengetahui segalanya. Namun, kenapa kamu masih meragukan Kuasa Kami?”
Aku kembali terdiam saat mendengar desakkannya.
“Apa yang bisa membuktikan bahwa Kau benar-benar Tuhan
Yang Maha Esa?”
“Seperti yang kamu pikirkan sebelumnya, Kami bisa―”
“Memang logis jikalau Anak Diberkati Tuhan itu
benar-benar ciptaan-Mu ...” Aku memotong perkataan Tuhan itu, “Mereka bisa mati dan
hidup kembali layaknya seorang abadi, tapi, kenapa aku, yang bukan seorang Anak
Diberkati Tuhan, dibangkitkan oleh-Mu dan diperkenankan untuk menghadap-Mu?”
Sosok yang hampir kupercaya sebagai Tuhan Yang Maha
Esa itu kemudian terdiam.
“Apakah dengan menghidupkanmu itu masih belum cukup
untuk membuktikan kuasa Kami, Pope?” tanya-Nya padaku.
“Tidak,” tegasku, menggeleng.***

Komentar
Posting Komentar