#REHHAT [1] - [11] Art of Fight (1/2)
“Tapi sebelum itu, aku butuh bantuan kalian untuk menyelamatkan seseorang.”
“Seseorang?”
tanya mereka berdua, kebingungan.
“Anggap
saja ia temanku.”
Mereka menunduk, berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.
Teman,
huh, demikian
pikirku, memasuki sebuah kendaraan pengangkut.
Para
pengungsi gelombang ke-3 memasuki sebuah kendaraan pengangkut berwarna hitam.
Kendaraan pengangkut yang dapat menampung sampai 40 orang pengungsi.
Dari luar,
kendaraan pengangkut ini berwarna hitam pekat tetapi saat memasukinya ia
berwarna silver metal yang menyilaukan, dengan kursi hitam berjejer di
sisi-sisinya saling berhadapan.
Aku duduk
di kursi, saling berhadapan dengan si Ro.
“Jadi,”
bisik Mo padaku, memasang sabuk pengamannya, “Bagaimana kita bisa kabur?”
Aku
menengok ke arahnya—dia duduk di samping kiriku. “Belum saatnya.”
Kendaraan
yang kutumpangi ini perlahan melayang, dan dengan sangat cepat mengantar kami ke
CityF.5―melewati kota dan desa yang sudah hancur.
Para
mengungsi di kendaraan pengangkut ini tidak akan ada yang tahu bahwa di bawah
mereka, kota-kota serta desa sudah luluh lantah.
Mungkin
kami hanya beruntung, tetapi beberapa kendaraan pun telah tertembak senjata
termoelektrik para Anggota Sekte Sesat dan hancur di udara begitu saja.
Seluruh
tubuhku bergetar karena guncangan kendaraan pengangkut ini yang mulai akan
mendarat―aku melihat semua orang panik, termasuk si Ro yang berada tepat di
hadapanku.
Dan pada
saat kendaraan mulai mencapai permukaan, pilot langsung membuka pintu kendaraan sepenuhnya
ke atas.
“Cepat
keluar, keluar, keluar!” desak si pilot di speaker, dan secara otomatis ia
membuka sabuk pengaman kami seraya terus berteriak, “Cepat!”
Kami semua
langsung turun.
Mungkin semua orang di sekitarku sangat terkejut saat melihat keadaan CityF.5 yang sudah luluh
lantah.
Kami
diturunkan di pinggiran kota, di mana bangunan-bangunan pabrik kota ini telah
hancur sepenuhnya.
Seperti
yang telah kubilang, beberapa kendaraan pengangkut di atas langit hancur dan
terjun begitu saja tanpa sisa.
Beberapa
pengungsi termenung menatap kota; dan beberapa menatap langit di mana puluhan kendaraan pengangkut hancur tertembak cahaya biru.
“Apa yang
harus kulakukan,” gumam seorang pengungsi, menatap langit.
Kami semua
melihat medan perang yang sudah sangat kacau, dan bingung harus berbuat apa.
Pengungsi
lain berkata, “Kita harus cepat bersembunyi.”
Setelah
perkataan seorang pengungsi itu terdengar, semua pengungsi panik dan berlari berhamburan ke segala
arah.
Karena
kacaunya situasi, aku dengan mudah berpisah Ro dan Mo.
Aku
meninggalkan mereka berdua karena aku sangat yakin dengan kemampuan mereka dalam hal bersembunyi. Yang menemukan pintu bawah tanah beserta rumah itu pun mereka
berdua. Tanpa mereka, aku mungkin sudah mati di Village.0.
Ya. Aku
sangat percaya pada mereka―meski si Mo pasti akan sangat meragukanku
sekarang.
Ya.
Tidak ada yang bisa kulakukan karena aku pun lemah, demikian pikirku, terus berlari
menyusuri gang kota. “Aku berharap kalian selamat seperti di kehidupanku sebelumnya.”
Ya. Tidak
ada pilihan lain, dalam party-ku nanti, aku membutuhkan Pendekar Pedang yang
bisa kuandalkan.
Selama 132
tahun, hanya Saber Heroes―yang memenggal kepalaku―saja yang bisa kusebut kuat.
Hanya dia. Dan jika hanya dia, bagaimana aku bisa membunuhnya? Dalam hal
pertarungan High Tier, seni dalam pertarungan sama sekali tidak berguna.
Terlihat
jelas saat di akhir pertarunganku dengan para Pahlawan Nasional di atas Tower
Energy, bukan?
Namun
terlepas dari itu, Art of Fight-lah satu-satunya yang akan kugunakan untuk
menyelamatkan keempat calon rekanku itu.
“Semoga
aku tidak terlambat,” gumamku, terus berlari menyusuri gang.
Di ujung
gang, aku melihat satu orang pria dengan senyum di wajahnya sedang bertarung
melawan anomali Anak Diberkati Tuhan.
Saat semua
orang bersembunyi, dia melawan anomali yang menyerangnya dengan sebuah pedang
kayu. Entah bagaimana dia berhasil menangkis dan menghindari sayatan belati
yang menghujaninya.
Namun,
pada akhirnya dia terlempar sampai menabrak pintu dan sampai-sampai terlempar
memasuki salah satu rumah.
“Kita
berada di belakang pabrik, huh,” gumamku, memperhatikan sekitar.
Rumah yang
dimasuki mereka berdua itu menempel dengan pabrik sangat besar—bangunan metal
hitam yang sangat mencolok.
Dan aku,
menaiki atap sebuah bangunan tak jauh darinya, berusaha tetap tak terlihat oleh
siapa pun.
Hanya
suara benturan, bantingan, serta beberapa perabotan berjatuhan yang
sedikit kudengar di atas atap ini.
Namun pada
akhirnya, anomali itu terpukul mundur lagi oleh si pria. Dia terlempar keluar
rumah, tetapi pria itu masih langsung menerjangnya walau tubuhnya penuh luka.
Dengan
melihatnya dari sini, aku bisa melihat bagaimana si pria bisa memanfaatkan
tenaga dan sedikit celah dari lawannya.
Seni
berpedang yang sangat indah, demikian
pikirku, mulai berdiri.
Lawan pria
itu sangat kewalahan, dan mulai geram dengan menendang kembali; tetapi pria itu
dengan mudahnya menghindar seraya mencengkeram pedang kayunya dengan kedua
tangan, dan langsung menusukkannya dengan sangat kuat ke depan.
Ya. Di
sinilah anehnya. Aku
mengerutkan kening.
Tidak sampai
di situ, si pria langsung membebankan berat tubuhnya sendiri ke depan.
“Apa!!?”
Bahkan anomali itu pun terkejut.
Anomali
Anak Diberkati Tuhan itu terkejut bukan karena terpukul mundur—tetapi—dia
sekarang dalam keadaan mati.
Tubuhnya
mulai terpecah menjadi pecahan poligon dari ujung kaki, dan akan terus menjalar sampai
ke kepala. Sampai dia menghilang sepenuhnya.
“Sialan!!”
umpat anomali itu, menekan sebuah tombol di jamnya pada saat-saat terakhirnya.
Ruang di
atas si pria mulai robek dan memunculkan sebuah Robot AMP seukuran manusia.
“Sial. Ini
robot, ya—hahahaha!”
Robot AMP
dengan sebuah pedang besi besar di punggungnya, langsung mendarat di hadapan
pria itu.
Dan dimulailah pertarungan ke-duanya dengan robot itu.
Di sana, walau pria itu
sangat terpojok serta kehabisan energi, dia tetap biasa tersenyum, tertawa dan
terus mengayunkan pedang kayunya.
“Hahahaha!”
Aku tahu
pria itu akan berhasil melenyapkan robot, namun dengan luka besar sebagai bayarannya. Dan
dengan luka itu, seharusnya dia datang menyelamatkan kami bertiga, lalu
mati mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kami.
“Tapi aku
tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Aku turun
dari atap, lalu berlari dengan sekuat tenaga menuju tempat di
mana anomali itu baru saja lenyap.
Ini memang
sangat aneh. Saat Anomali Diberkati Tuhan mati, ia pasti akan menjatuhkan salah
satu atau bahkan beberapa Item maupun Equipment yang dimilikinya.
Aku pun
mengambil sebuah belati yang sedari tadi kuperhatikan.
“Ah!?”
desah si pria, mulai kewalahan.
Satu
tebasan pedang horizontal robot itu akan membuat cedera di kaki si pria—namun—aku
sudah berada di samping si pria dan menendangnya agar menjauh seraya menahan
tebasan pedang si robot dengan belati.
Ya. Aku
tahu pasti tidak akan bisa menahan pedang sebesar ini, jadi kami berdua
terlempar ke arah yang sama.
“Hey!”
keluh pria itu.
Ya. Aku
menindihnya saat tubuh kami berdua menabrak dinding sebuah bangunan metal.
“Ugh ...
Kau selamat?” keluhku juga padanya.
Aku
berdiri dengan tubuhnya sebagai pijakan seraya merapikan bajuku.
“Uh!? Kamu
siapa?”
“Hanya
orang lewat—yang mempunyai musuh yang sama.”
Dia
menatapku dari bawah, dengan wajah bingung.
“Lupakan
dulu siapa aku. Kita akan bekerja sama melawannya—dan aku ingin semua item
yang diturunkannya,” dalihku.
Pria itu
pun berdiri dan berjalan ke sampingku.
“Item?”
tanyanya, mengerutkan kening, “Apa itu—“
“Dia
mendekat,” potongku, melihat Robot AMP mulai menerjang ke arah kami. “Siapkan
pedangmu.”***
Komentar
Posting Komentar